LEMBAGA PEMERHATI DAN PENGKAJI HUKUM SULTRA

Kamis, 30 Juni 2011

Analisis Hukum Terhadap Tembak di tempat dari Perspektif HAM

Salah satu ciri Negara hukum modern menurut Jimly Asshiddieqie (2006: 151–162), adalah adanya perlindungan hak asasi manusia, yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum moderen dalam arti yang sebenarnya.
Hak Asasi Manusia (HAM) yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang terindah dan terbaik yang dimiliki oleh setiap insan manusia di belahan bumi manapun juga. Hak-hak ini tidak dapat diingkari begitu saja oleh siapa pun jua. Pengingkaran terhadap hak prinsipil tersebut berarti mengingkari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Oleh karena itulah, baik negara, pemerintah, atau organisasi apapun harus mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali. Hal ini mengandung maksud bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
Hak Azasi Manusia adalah hak yang dimiliki seseorang karena orang itu adalah manusia, hak azasi ini bersifat universal dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Penegakan HAM adalah merupakan salah satu unsur paling esensial bagi Negara hukum, keberadaan dan penghormatan terhadap Negara hukum yang mencerminkan keadaan bahwa hak-hak kebebasan dan kewajiban dilenyapkan dalam hukum  bagi semua orang dan dengan jaminan bahwa orang-orang akan diperlakukan sama dalam keadaan yang sama. Tanpa adanya pengakuan hukum yang menjadi landasan bagi tumbuh kembangnya hak azasi manusia, sangat sulit dicapai kerangka pembangunan sistem perlindungan HAM.
Menurut Moh. Mahfud MD (2001:133-`134), bahwa pengakuan dan perlindungan HAM harus dijadikan isi dari staatsfundamental norm, namun dalam kenyataannya bahwa banyak terjadi pelanggaran HAM bahkan tidak sedikit diantaranya yang dilakukan secara pasif oleh aparat Negara.
Salah satu perbuatan yang dapat melanggar hak azasi manusia adalah tindak pidana terorisme. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur unsur tindak pidana, yaitu dengan sengaja mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.(Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme).
Unsur lain tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme adalah dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Menurut penulis ada tiga dasar  yang dapat digunakan untuk menganalisis perintah tembak ditempat terhadap tindak pidana terorisme dihubungkan dengan Hak Azasi Manusia. Tiga dasar tersebut adalah diskresi kepolisian, Asas  Presumption of innocence (praduga tak bersalah), dan Asas Equality before the law (persamaan dihadapan hukum).
Dalam kaitannya dengan Pelaksanaan kewenangan perintah tembak di tempat oleh kepolisian terhadap tindak pidana terorisme, yang dilakukan berdasarkan hukum yang bertanggung jawab yang biasa diistilahkan diskresi kepolisian, maka menurut penulis sudah sesuai dengan aturan yang seharusnya dilakukan oleh kepolisian terhadap tersangka tindak pidana terorisme. Namun demikian menurut penulis, kepolisian dalam hal ini sebagai institusi yang akan melaksanakan perintah tersebut tetap harus memperhatikan aturan kode etik polisi, dan prinsip dasar penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparat penegak hukum, serta hak-hak tersangka terutama hak hidup dan hak bebas dari penyiksaan.
Hal tersebut diatas tentang diskresi kepolisian diperkuat dalam azas kepolisian, yaitu azas plichmatigheid yang menyatakan bahwa tindakan polisi dianggap sah apabila didasarkan kepada kekuasaan dan berwenang umum. Asas ini memberikan kekuasaan kepada polisi untuk tindakan dan tindakan tersebut diserahkan pada polisi (inisiatif polisi).
Selanjutnya penulis berpendapat bahwa jika perintah tembak ditempat terhadap tindak pidana terorisme tidak didasarkan pada hukum yang bertanggung jawab kemudian dihubungkan dengan Hak Azasi Manusia, maka akan bertentangan dengan HAM seseorang yang dilindungi oleh undang-undang, yaitu bahwa setiap orang berhak hidup dan hak bebas dari rasa sakit dan penyiksaan.
Lebih lanjut menurut penulis penanganan tindak pidana terorisme dengan memberlakukan perintah tembak ditempat terhadap tersangka tindak pidana terorisme bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence), yang mana bahwa setiap orang yang masih diduga telah melakukan perbuatan pidana tidak dianggap bersalah jika belum ada putusan hakim yang memutuskan perbuatannya tersebut adalah salah, walaupun ada beberapa dasar hukum yang pada dasarnya pelaksanaan Perintah tembak di tempat merupakan salah satu kewenangan yang masuk ke dalam diskresi kepolisian yang dalam pelaksanaannya menuntut penilaian sendiri dari petugas yang ada di lapangan.
Terkait dengan penanganan terorisme sesuai amanat Pasal 18 ayat 1 UU No 39 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Pelaksanaan perintah tembak di tempat meskipun hanya dimaksudkan untuk melumpuhkan para tersangka dan tidak untuk membunuh tersangka. Untuk itu setiap anggota POLRI yang melaksanakan perintah tembak di tempat  harus senantiasa menghormati hak hidup tersangka, meski petugas diperbolehkan membunuh jika dalam keadaan terpaksa yang sama sekali tidak dapat dihindarinya untuk melindungi kehidupan manusia. Perintah tembak di tempat ini diturunkan karena berdasarkan penyelidikan yang telah dilakukan oleh anggota POLRI diperkirakan adanya dugaan bahwa tersangka/Pelaku tindak pidana yang hendak di tangkap itu tergolong orang yang berbahaya yang cenderung jika diadakan penangkapan terhadapnya akan melarikan diri dan bahkan akan mengadakan perlawanan terhadap petugas yang akan melakukan penangkapan sehingga nantinya dikhawatirkan akan dapat membahayakan keselamatan petugas POLRI dilapangan maupun masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Menurut penulis tembak ditempat yang harus diterima oleh tersangka pelaku tindak pidana terorisme jika dihubungkan dengan kondisi dan situasi dapat diberlakukannya perintah tembak di tempat dimana tembak di tempat dapat diberlakukan jika terdapat situasi dan kondisi/keadaan yang membahayakan nyawa, atau adanya keadaan yang mengancam (adanya ancaman kejahatan) terhadap kehormatan, harta benda sendiri maupun orang lain. Menurut penulis merupakan pembelaan yang dilakukan oleh kepolisian, yang mana penilaian atas keadaan tersebut sesuai dengan penilaian petugas kepolisian yang menghadapi situasi tersebut, untuk kemudian diambil tindakan situasi tersebut. Bahwa situasi dan kondisi diberlakukannya  perintah tembak di tempat itu sangat erat dengan penangkapan perintah itu dapat diturunkan, sehingga menurut penulis tindakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Menurut penulis jika dianalisis perintah tembak ditempat dihubungkan dengan pelanggaran HAM maka penulis berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM karena menurut undang-undang tentang HAM yang dimaksudkan dengan pelanggaran HAM adalah bahwa setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Sementara perintah tempat ini dilakukan atas perintah berdasarkan hukum yang bertanggung jawab.
Penanganan tindak pidana terorisme dengan memberlakukan perintah tembak ditempat menurut penulis, ini juga tidak sesuai dengan asas Equality before the law, bahwa setiap orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Menurut penulis bahwa apa bedanya tindak pidana terorisme dengan tindak pidana lainnya yang masing-masing dapat menyebabkan kerugian pada setiap orang termasuk negara, seperti tindak pidana korupsi, yang penanganannya tindak sampai pada pemberlakuan perintah tembak ditempat yang pelaku korupsinya melarikan diri keluar negeri. Hal ini juga menurut penulis jika dihubungkan dengan Hak Azisi Manusia tidak sesuai karena terjadi diskriminasi yang berarti bahwa karena mendiskriminasi seseorang berarti pelanggaran HAM.
Namun demikian penulis dapat berkesimpulan bahwa perintah tembak ditempat terhadap tersangka tindak pidana terorisme sudah sesuai dengan tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, dan sudah sesuai dengan paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Azasi Manusia dan Perlindungan Hak Azasi Tersangka.


1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus